Menu Tutup

Asas-asas Hukum Kontrak di Indonesia

Asas-asas Hukum Kontrak di Indonesia

Asas-asas Hukum Kontrak di Indonesia – Menurut Paul Scholten, asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individu yang dapat dipandang sebagai penjabarannya.

Pada umumnya, asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk konkrit. Misalnya Asas Konsensualitas, yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata yakni, “sepakat mereka yang mengikatkan diri”. Untuk menemukan asas hukum dicari sifat-sifat umum dalam kaidah atau peraturan yang konkrit.

Advertisements

Johannes Gunawan menjelaskan, ada asas-asas hukum kontrak yang tersirat dalam Kitab KUHPerdata, yaitu:

  1. Asas Kebebasan Berkontrak;
  2. Asas Mengikat sebagai Undang-undang;
  3. Asas Konsensualitas; dan
  4. Asas Itikad Baik.

Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Lahirnya asas kebebasan berkontrak sangat berkaitan dengan lahirnya paham individualisme. Paham individualisme ini muncul pada zaman Yunani, kemudian diteruskan oleh kaum epicuristen, yang selanjutnya berkembang pesat pada zaman renaissance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau.

Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “semua kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut”.

Subekti dalam Buku Hukum Perjanjian menjelaskan, asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Kebebasan berkontrak tidak berarti para pihak dapat membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, akan tetapi tetap mengindahkan syarat-syarat sahnya pernjanjian, baik syarat umum sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 1320 KUHPerdata, maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

Perjanjian adalah Hak Asasi Manusia

Hugo de Groot dan Thomas Hobbes mengemukakan pendekatan terhadap asas kebebasan berkontrak berdasarkan hukum alam. Sebagai penganjur terkemuka dari ajaran hukum alam, Grotius berpendapat bahwa hak untuk mengadakan perjanjian adalah hak asasi manusia.

Alasannya, suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang yang berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang lain itu menerimanya. Kontrak lebih dari sekadar janji karena suatu janji tidak dapat memberikan hak kepada pihak lain atas pelaksanaan janji itu.

Kemudian Hobbes menyatakan bahwa kebebasan berkontrak sebagai kebebasan manusia yang fundamental. Kontrak merupakan metode dimana hak-hak fundamental manusia dapat dialihkan.

Munir Fuady menjelaskan, asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.

Asas tersebut tersirat dalam pasal 1338 KUHPerdata, pada intinya menyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat kontrak apapun sejauh tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban dan kesusilaan.

Dalam buku Pokok-pokok Hukum Perdata, Subekti menyebut orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.

Secara historis kebebasan berkontrak sebenarnya meliputi lima macam kebebasan, yaitu:

  • Kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak;
  • Kebebasan menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak;
  • Kebebasan para pihak menentukan bentuk kontrak;
  • Kebebasan para pihak menentukan isi kontrak;
  • Kebebasan pada pihak menentukan cara penutupan kontrak.

Menurut Felix.O. Soebagjo, dalam penerapan asas kebebasan berkontrak, tidak berarti dapat dilakukan bebas sebebasnya. Akan tetapi juga ada pembatasan yang diterapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.

Dengan demikian asas kebebasan tersebut tidak hanya milik KUHPerdata, akan tetapi bersifat universal.

Asas Mengikat sebagai Undang-undang

Pacta Sun Servanda, menjelaskan bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati.

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan para pihak atau karena alasan-alasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Suatu hal yang penting yang patut diperhatikan adalah, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya. Namun juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Asas hukum ini, telah meletakan posisi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat menjadi undang-undang baginya sehingga Negara tidak berwenang lagi ikut campur dalam perjanjian.

Asas Konsensualitas (Consensualitas)

Sebagaimana yang tersirat dalam pasal 1320 KUHPerdata, bahwa sebuah kontrak sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak dalam kontrak sejak terjadi kata sepakat tentang unsur pokok dari kontrak tersebut.

Dengan kata lain, kontrak menjadi sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai unsur pokok kontrak dan tidak diperlukan formalitas tertentu.

Banyak pertanyaan, kapan saatnya kesepakatan dalam perjanjian itu terjadi. Kesepakatan itu akan timbul apabila para pihak yang membuat perjanjian tersebut pada suatu saat bersama-sama berada di satu tempat dan di situlah terjadi kesepakatan.

Akan tetapi dalam praktik tidak demikian. Sering terjadi, dan banyak perjanjian terjadi melalui surat menyurat, sehingga juga timbul persoalan kapan kesepakatan tersebut terjadi.

Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Namun dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan “itikad baik”.

Akibatnya orang akan mengalami kesulitan dalam menafsirkan itikad baik itu sendiri. Karena itikad baik merupakan pengertian yang abstrak, berhubungan dengan apa yang ada dalam alam pikiran manusia.

Menurut James Gordley, dikutip oleh Ridwan Khairandy, dalam kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan itikad baik.

Dalam praktik, perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan dengan kepatuhan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu kontrak.

Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis, harus diperhatikan terutama saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negosiasi. Karena itikad baik baru diakui pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat syahnya perjanjian atau setelah negosiasi dilakukan.

Suharnoko menjelaskan terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakukan asas itikad baik ini. Secara implisit Undang-undang Perlindungan Konsumen sudah mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian.

Sehingga janji-janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawabannya berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari di kemudian hari.

Anda telah membaca Asas-asas Hukum Kontrak di Indonesia, semoga bermanfaat.

Baca juga:

Bagikan yuk!
Posted in Course