Menu Tutup

Uang dalam Masyarakat Tradisional dan Modern

Uang dalam Masyarakat Tradisional dan Modern

Uang dalam Masyarakat Tradisional dan Modern

Fenomena uang dalam masyarakat tradisional, berkaitan dengan fenomena sosial budaya dan politik. Uang, melekat pada situasi sosial, budaya, politik, dan agama. Menurut Damsar (2006), pemakaian uang dalam masyarakat tradisional, bukan merupakan kebutuhan akan benda-benda yang dapat dihitung untuk dipertukarkan secara langsung tetapi ia merupakan kebutuhan sosial, budaya, politik atau agama.

Advertisements

Penggunaan uang sebagai alat pembayaran termasuk penggunaan uang yang paling umum di zaman dulu. Di sini kewajiban biasanya tidak timbul dari transaksi. Dalam masyarakat primitif yang tidak mengenal transaksi, pembayaran biasanya dilakukan untuk kepentingan seperti emas kawin, ganti rugi, dan denda. Dalam masyarakat kuno pembayaran seperti ini berlanjut tetapi kemudian dikalahkan oleh pembayaran iuran adat, pajak, sewa dan upeti yang menaikkan pembayaran secara besar-besaran.

Atau ketiga unsur yang disebut diatas dijalankan secara tidak lengkap. Oleh karena itu, Polanyi (1957) menganggap uang dalam masyarakat tradisional dipergunakan untuk tujuan khusus.

Berbagai benda digunakan untuk berbagai tujuan selain itu, berbagai macam penggunaan itu lahir sendiri-sendiri. Makna semua ini sangat luas. Misalnya, bukan hal yang bertentangan bila orang “membayar” dengan alat yang dipakai untuk membeli, atau bila orang-orang menggunakan benda-benda sebagai “standar” dan tidak digunakan sebagai alat tukar.

Dalam masyarakat primitif, uang dipakai untuk membayar berbagai macam tebusan atau penggantian terhadap suatu pencemaran agama, penghinaan, pelanggaran adat, perzinaan, perbuatan sumbang, atau kegiatan ritual. Keadaan ini menunjuk pada berbagai jenis uang untuk beragam tujuan dari penggunanya atau “uang khusus” (special monies).

Uang dalam Masyarakat Modern

Masyarakat modern ditandai oleh perkembangan dan pengalaman dengan industri. Masyarakat yang pertama yang mengalami perkembangan industri adalah masyarakat di negara-negara Eropa Barat.

Dalam masyarakat pra kapitalis, merujuk pada pandangan Polanyi, fenomena ekonomi seperti pergadangan, pasar, dan uang didasarkan pada tujuan selain mencari laba. Kehidupan ekonomi dalam masyarakat tersebut diatur oleh resiproritas, redistribusi, dan keluarga subsistensi.

Dalam masyarakat modern, menurut Damsar (2006), ekonomi terstruktur atas dasar pasar yang mengatur dirinya sendiri (self-regulating market) yang dilandaskan pada hukum penawaran dan permintaan.

Dalam masyarakat tersebut, barter tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan kegiatan ekonomi yang semakin kompleks. Oleh sebab itu, uang menggantikan fungsinya. Penggunaan uang sebagai alat tukar muncul karena ada kebutuhan benda-benda yang dapat dihitung untuk tujuan tukar menukar secara tidak langsung.

Menurut Polanyi (1957), uang dalam masyarakat modern, mengandung tiga hal yaitu sebagai alat pembayaran, standar dan sarana pertukaran. Sebagai alat pembayaran, uang merupakan pelaksanaan kewajiban terhadap objek-objek yang dapat dihitung dipindah kepada pihak lain.

Dengan kata lain, jika suatu benda dapat digunakan untuk memenuhi lebih dari satu kewajiban, secara sederhana, ia dapat dikatakan sebagai alat pembayaran. Uang sebagai standar menunjuk pada penyamaan sejumlah jenis barang yang berbeda untuk tujuan-tujuan tertentu.

Penyamaan ini dipandang penting bagi tata pembayaran “dalam bentuk barang” yang berlingkup luas, yang berpijak pada pengertian dana dan neraca. Sedangkan uang sebagai sarana pertukaran berasal dari kebutuhan objek-objek yang dapat dihitung untuk dipertukarkan secara tidak langsung.

Pandangan Karl Marx

Dengan menggunakan pandangan Karl Marx, dalam masyarakat modern diperkenalkan secara luas tipe U – K – U: uang digunakan membeli komoditi kemudian komoditi tersebut dijual untuk memperoleh uang. Pada tingkat yang lebih lanjut, “uang dipakai untuk membeli uang”.

Fenomena perdagangan valuta asing (valas) memperlihatkan bagaimana “uang digunakan untuk membeli uang”. Melalui perdagangan valas, seseorang dapat untung dengan transaksi jual-beli, sebaliknya ia juga dapat mengalami kerugian.

Untung dan rugi dalam transaksi jual beli valas, terutama, tergantung pada kecapakapan seseorang dalam “bermain”. Oleh karena itu, dan sisi lain, transakasi jual beli valas dapat dipandang sebagai “permainan”.

Tidak bedanya dengan permainan lain, jika seorang pemain dadu yang lihai misalnya, ia tidak akan langsung ikut bermain sebelum ia yakin bagaimana bentuk sisi dari dadu tersebut sehingga ia dapat yakin probabilitas sisi dadu yang keluar.

Demikian halnya permainan valas, seorang pemain yang lihai tidak akan menukarkan rupiahnya kedalam mata uang dolar Amerika atau ke dalam yen Jepang sebelum ia yakin terhadap situasi antar-negara, pemilihan presiden atau perdana menteri, perkembangan atau gejolak ekonomi yang mata uangnya akan dibeli atau dijual dan negara yang ada di sekitarnya, dan sebagainya.

Sebagai pemain, seseorang yang ikut di dalamnya, meski sudah dibekali dengan “penasihat” yang meramalkan perkembangan ekonomi atau politik, suatu waktu ia akan mengalami kekalahan.

Tingkat kekalahan tersebut bisa dalam skala besar maupun kecil, yang dapat menyebabkan karier seseorang ambruk dan kerajaan ekonomi yang telah dibangunnya runtuh dalam sekejap, atau sebaliknya tingkat kemenangan bisa dalam skala kecil maupun besar, yang dapat mengakibatkan dalam waktu seketika karier melejit dan kerajaan ekonominya menjadi semakin besar.

Dalam masyarakat modern, yang dianggap sebagai uang adalah “uang tunai” baik berbentuk kertas maupun logam. Dalam melakukan transaksi orang dapat melihat serta memegang langsung dalam jumlah uang tunai yang disepakati. Ia dapat berupa rupiah, dolar, euro, atau mata uang lainnya yang diakui dalam melakukan transaksi.

Berkaitan:

Bagikan yuk!
Posted in Course